SISTEM TANAM PAKSA
MATA
KULIAH
SEJARAH
AGRARIA
Oleh:
Kelompok
4
Muhammad
Khoirul Umam 100210302007
Warid
F. Faqih 100210302008
Reni
Eka Prasetya 100210302010
Yusuf
Mahfudz 100210302048
Retno
Sri Wulandari 100210302049
PROGRAM
STUDI SEJARAH
JURUSAN
ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
JEMBER
2012
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis
panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya
kepada penulis sehingga penulis berhasil menyelesaikan Makalah ini yang
alhamdulillah tepat pada waktunya yang berjudul “Sistem Tanam Paksa”
Makalah ini berisikan
tentang informasi Sistem Tanam Paksa, yang nantinya penulis berharap para
pembaca dapat mendapat informasi dan memperdalam pengetahuan tentang Sistem
Tanam Paksa.
Penulis menyadari bahwa Makalah ini masih jauh
dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat
membangun selalu penulis harapkan demi kesempurnaan Makalah ini. Akhir kata,
penulis sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta
dalam penyusunan Makalah
ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha
kita. Amin.
Penulis
DAFTAR ISI
COVER…………………………………………………………………… 1
KATA
PENGANTAR…………………………………………………… 2
DAFTAR
ISI……………………………………………………………… 3
BAB I
PENDAHULUAN………………………………………………… 4
1.1
Latar belakang………………………………………………………… 4
1.2
Rumusan Masalah……………………………………………………… 6
1.3
Manfaat………………………………………………………………… 6
BAB II
PEMBAHASAN………………………………………………… 7
2.1 Jalannya Sistem Tanam Paksa................................................................. 7
2.2 Indonesia Di Tinggal…………………………………………………… 9
2.3 Dampak Tanam Paksa…………………………………………… 13
BAB
III PENUTUP……………………………………………………….. 11
3.1 kesimpulan…………………………………………………… 11
DAFTAR
PUSTAKA……………………………………………………... 12
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
System pajak tanah yang
dilakukan oleh Raffles yang kemudian diteruskan oleh Komisaris Jendral van der
Capellen dan Du Bus de Gisignies telah mengalami kegagalan, kegagalan yang
dimaksud dalam hal ini adalah kegagalan dalam merangsang para petani untuk
meningkatkan produksi tanamanperdagangan untuk ekspor. Pemerintah Hindia
Belanda mengangkat jendral baru untuk Indonesia dengan alasan untuk
meningkatkan produksi tanaman ekspor pada tahun 1830, peningkatan tanaman
ekspor dirasa sangat perlu oleh pemerintah Belanda karena untuk menopang
keadaan ekonomi Belanda dengan hutangnya yang sangat besar. Karena Belanda
merasa tidak mempunyai jalan lain kecuali mencari pemecahan masalah di
wilayah-wilayah koloni, akhirnya menghasilkan gagasan system Tanam Paksa yang
diintroduksi oleh gubernur van den Bosch.sistem Tanam Paksa yang dijalankan
oleh van den Bosch disebut juga Cultuurstelsel,
yang berarti pemulihan kembali eksploitasi berupa penyerahan-penyerahan seperti
yang pernah dilakukan oleh VOC dahulu. Namun dalam system Tanam Paksa ini pihak
Belanda memberikan beberapa rangsangan-rangsangan postif, beberapa rangsangan
tersebut adalah setelah para penduduk pribumi melunasikewajiban pembayaran sewa
tanah (land rent) para penduduk
pribumi akan mendapatkan hasil bersih dari apa yang pernah mereka bayar.
1.2 Rumusan Masalah
1.2 Rumusan Masalah
Masalah yang dibahas dalam penulisan makalah ini adalah :
- Bagaimana terjadinya Tanam Paksa?
- Apakah dampak dari system tanam paksa tersebut?
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan daripada penulisan makalah ini adalah :
- Mengetahui terjadinya system Tanam Paksa;
- Mengetahui dampak dari system tanam paksa;
- Memperdalam pengetahuan tentang system tanam paksa.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Jalannya Sistem Tanam Paksa
Gubernur Jendral van den Bosch memberlakukan system
ini dengan mengambil pelajaran dari system pajak tanah yang gagal pada era
sebelumnya oleh Raffles, dari system pajak tanah yang tidak mampu membuat para
penduduk pribumi meningkatkan tanaman ekspor maka Gubernur Jendral van den
Bosch mecoba untuk meningkatkan hasil tanaman ekspor dengan mengadakan
kerjasama dengan para Bupati dan pejabat daerah yang dekat dengan rakyat.
Artinya system feodal di pedesaan harus dimanfaatkan agar para petani mampu
menghasilkan tanaman ekspor yang banyak, untuk itulah Gubernur Jendral van den
Bosch mencoba untuk mengadakan kerjasama dengan para pegawai pemerintahan yang
dekat dengan petani. System tanam paksa ini bisa dikatakan sebagai bentuk
pembaharuan dari system pajak tanah yang pernah dilakukan oleh VOC selama dua
abad, mengapa seperti itu? Hal ini dikarenakan para penduduk pribumi juga
dikenakan pajak oleh Gubernur Jendral van den Bosch, yang mana pajak yang
dikenakan bukan berupa uang melainkan berupa tanaman ekspor yang telah mereka
tanam. Pajak berupa hasil pertanian mereka ini juga menjadi ciri dari system
Tanam Paksa yang dilakukan oleh van den Bosch, hasil dari pajak-pajak tersebut
kemudian dikirim ke negeri Belanda untuk dijual kepada pembeli dari Amerika dan
Eropa dengan harga yang dapat menguntungkan Belanda.
System pajak tanah yang berlangsung selama tahun
1810-1830, penanaman dan penyerahan wajib telah dihapuskan kecuali daerah
Parahyangan dan Jawa Barat. Namun didaerah Parahyangan para penduduk pribumi
diwajibkan menanam kopi dan pajak yang diserahkan kepada pihak Belanda harus
berupa kopi yang telah ditanam oleh penduduk pribumi, sedangkan untuk tanaman
yang lainnya tidak terdapat wajib pajak. Namun pajak yang menjadi beban petani
kepada bupati tidaklah termasuk dalam pembebesan pajak oleh pemerintah kolonial
Belanda, hal ini dilakukan karena dalam masyarakat terdapat beberapa pajak
yaitu pajak yang diberikan kepada pemerintah colonial Belanda dan pajak yang
diserahkan kepada Bupati ataupun pihak pemerintah yang terdapat di
daerah-daerah. System pajak tanah dengan memberikan hasil pertanian ini
dianggap akan berhasil oleh van den Bosch, karena van den Bosch berpendapat
bahwa pajak tanah yang diterapkan pada era sebelumnya sangat meniksa petani.
Hal ini dikarenakan petani harus membayar pajak tanah hamper setengah dari
penghasilan mereka dalam bertani, sehingga system pajak tanah yang diterapkan
oleh Bosch ini tergolong pajak yang menguntungkan rakyat.
Peraturan mengenai Tanam Paksa ini diberlakukan
dalam stadsblad (Lembaran Negara) No.
22 tahun 1834 yang berisikan sebagai berikut:
1) Persetujuan-persetujuan akan
diadakan dengan penduduk agar mereka menyediakan sebagian tanah milik mereka
untuk penanaman tanaman dagangan yang dapat dijual dipasar Eropa.
2) Bagian tanah tanah pertanian yang
disediakan penduduk untuk tujuan ini tidak boleh melebihi seperlima tanah
pertanian yang dimiliki oleh penduduk di desa.
3) Pekerjaan yang diperlukan untuk
menanam tanaman dagang tidak boleh melebihi pekerjaan yang diperlukan untuk
menanam padi.
4) Bagian tanah yang disediakan
untuk menanam tanaman dagangan dibebaskan dari pembayaran pajak tanah.
5) Tanaman dagang yang dihasilkan di
tanah-tanah yang disediakan wajib diserahkan kepada pemerintah Hindia Belanda
jika nilai hasil-hasil tanaman dagangan yang ditaksir melebihi pajak tanah yang
harus dibayar rakyat, selisih profitnya harus diserahkan kepada rakyat.
6) Panen tanaman dagangan yang gagal
harus dibebankan kepada pemerintah, sedikit-dikitnya jika kegagalan ini tidak
disebabkan oleh kurang rajin atau ketekunan dari pihak rakyat.
7) Penduduk desa mengerjakan
tanah-tanah mereka dibawah pengawasan kepala-kepala mereka, sedangkan
pegawai-pegawai Eropa hanya membatasi diri pada pengawasan apakah membajak
tanah, panen, dan pengangkutan tanaman-tanaman berjalan dengan baik dan tepat
pada waktunya.
Meskipun dalam peraturan yang dibuat antara pihak
petani dan pihak Belanda terlihat menguntungkan pihak petani, namun dalam
penerapannya tentunya saja Belanda menginginkan hasil yang besar dengan modal
yang sedikit dari pihak Belanda. Maka tak heran jika dalam penerapannya banyak
peraturan yang dilanggar oleh Belanda, kecuali peraturan nomor 4 dan 7. Bahkan
dalam Lembaran Negara tahun 1834 Nomor 22 pihak Belanda mengatakan bahwa dalam
dalam menanam tanaman dagang, haruslah terdapat kerelaan dari rakyat untuk
menanam tanaman dagang tersebut. Hal ini tentu membangkitkan semangat rakyat
untuk percaya dan mengakui bahwa pemerintahan Belanda sangatlah mengerti akan
nasib rakyat, meskipun dalam penerapannya pihak Belanda tidak berpihak kepada
rakyat melainkan mementingkan kepentingan sendiri.
Ada beberapa dampak dari system tanam paksa yang
diterapkan oleh van den Bosch ini, salah satu dampak dari system tanam paksa
ini adalah kepemilikan tanah secara massal oleh satu orang (miliki komunal).
Hal ini dikarenakan oleh pegawai pemerintah kolonial yang menganggap bahwa desa
dengan keseluruhan yang ada (tanah, dan pegawai (petani)) sebagai suatu alat
yang dapat digunakan untuk menetapkan tugas penanaman paksa yang dibebenkan
oleh pihak Belanda kepada tiap desa di Indonesia. Jika dibandingkan dengan
penyerahan wajib yang diterapakan oleh VOC kepada penduduk, memang masih lebih
menguntungkan rakyat pada system tanam paksa ini. Hal ini dikarenakan dalam
system tanam paksa pegawai Belanda ada yang ditugaskan untuk mengawasi dan
turun langsung kelapangan untuk membantu para petani dalam menanam tanaman
dagang, dari pegawai pemerintahan yang ditugaskan untuk mengawasi petani ini
disebut sebagai efisiensi karena dengan mengawasi secara langsung tanaman para
petani sehingga dapat mengurangi kecurangan yang dilakukan oleh petani
dilapangan.
Dalam penerapannya Belanda banyak melakukan
rangsangan-rangsangan yang diantaranya disebut dengan cultuurprocenten, cultuurprocenten
adalah sebuah imbalan yang diberikan kepada Bupati atau pegawai pemerintah di
tingkat daerah jika mampu melebihi target yang sudah ditetapkan oleh pemerintah
colonial Belanda. Sehingga dalam penerapannya banyak terjadi pemaksaan kepada
para petani untuk menanam secara paksa yang dilakukan oleh para pegawai
pemerintahan di tingkat daerah seperti Bupati, Camat, dan lain sebagainya.
Dalam penerapannya system tanam paksa tentu merugikan rakyat, karena pihak
Belanda bisa mengkomandoi para pegawai pemerintahan di daerah dengan menyuruh
untuk meningkatkan hasil produksi lagi. Namun jika pihak belanda bisa
mendapatkan pasokan pegawai untuk menggarap tanah untuk menanam tanaman dagang
dengan membayar upah untuk jasa-jasa tenaga kerja, maka dinilai tidak ekonomis
oleh pihak Belanda. Tentu saja tidak dinilai ekonomis, karena jika pihak
Belanda harus memberikan upah kepada para petani yang bekerja Belanda harus
mengeluarkan uang yang banyak, sehingga Belanda hanya tinggal memberikan upah
kepada para Bupati dan pegawai pemerintahan di daerah.
2.2 Indonesia Di Tinggal
Sekilas memang tidak ada perbedaan antara system
tanam paksa dan pajak tanah yang diberlakukan oleh VOC, sebenarnya terdapat
perbedaan yaitu system yang dimaksud dalan system tanam paksa ini bukanlah
system pada umumnya melainkan terdiri dari beberapa peraturan local (local arrangements) yang diterapkan oleh
setiap pemerintahan daerah dan berbeda antara satu daerah satu dengan daerah
yang lainnya. Van den Bosch kemudian kembali ke Belanda untuk menerima jabatan
Menteri Kolonial, setelah menerima gelar Menteri Kolonial van den Bosch masih
berusaha agar system tanam paksa yang diterapkan olehnya masih tetap berada
ditangannya sendiri, namun usahnya gagal. Sepeninggal van den Bosch ke Belanda,
Indonesia mengalami masa yang tak menentu. Masa ini adalah masa dimana para
pejabat pemerintah daerah melanjutkan system tanam paksa yang telah di
berlakukan oleh pemerintah kolonial Belanda, namun setelah van den Bosch
sebagai pencetus system tanam paksa pindah dari Indonesia ke Belanda, para
pejabat pemerintah daerah menggunakan keadaan ini sebagai alat untuk
kepantingan pribadi.
Ketika para pejabat
pemerintah daerah mulai menggunakan keadaan ini sebagai alat untuk kepentingan
sendiri, maka dilain sisi rakyat sebagai pelaksana system tanam paksa semakin
terbebani oleh kepentingan para pejabat pemerintahan di daerah. Selain itu
tanah yang digunakan untuk system tanam paksa ini juga semakin meningkat, yang
awalnya tanah yang digunakan untuk tanam paksa hanya seperlima dari tanah
didesa, maka dalam penerapannya Belanda menggunakan hamper setengah dari tanah
di desa untuk system tanam paksa ini. Hal ini tentunya tidak banyak berubah
ketika Indonesia mulai kehilangan van den Bosch, yang kemudian digantkan oleh
para pejabat pamerintah daerah untuk kepentingan pribadi. Namun jika dilihat
secara keseluruhan pada tahun 1845, tanah yang digunakan untuk system tanam
paksa ini hanya 86.000 atau seperdelapanbelas dari keseluruhan tanah yang
berada di pulau Jawa. Menurut penelitian yang dilakukan oleh van Neil
menyebutkan bahwa selama masa system tanam paksa wilayah atau tanah-tanah yang
dikenakan system tanam paksa hanya 5% dari keseluruhan tanah yang berada
diwilayah Jawa, selain itu dalam sistem tanam paksa persentase
keluarga-keluarga petani yang terlibat mencapai 70% hal ini dikarenakan
banyaknya tenaga kerja yang diperlukan untuk system tanam paksa ini. Misalnya
ketentuan untuk melakukan tanam paksa yang seharusnya tidak melebihi pekerjaan
menanam padi dalam banyak hal tidak ditaati, hal ini dikarenakn Belanda
menginginkan banyaknya tanaman impor yang dihasilkan dari para petani untuk
menopang keadaan ekonomi Belanda terutama untuk membayar hutang Belanda.
Para petani pada
umumnya di paksa untuk menanam tanaman yang akan diperdagangkan di Eropa lebih
lama dibandingkan dengan menanam tanaman untuk keperluan sendiri seperti
misalnya padi, selain hal itu upah ayng diterima oleh pada petani sangatlah
minim dalam melakukan pekerjaan untuk menanam tanaman dagang tersebut. Hal yang
paling memberatkan para rakyat Indonesia pada saat itu adalah dipaksanya para
petani laki-laki untuk bekerja di perkebunan khususnya yang menanam tanaman
indigo yaitu diwilayah Parahyangan selama 7 bulan secara terus-menerus, selain
itu ketika para petani laki-laki tersebut kembali kekampung mereka, mereka
harus melihat sawah mereka tidak terurus dengan baik sehingga mengakibatkan
kehidupan rakyat khususnya para petani semakin menderita.
Jika dalam perjanjian
awal system tanam paksa ini membebaskan pajak tanah untuk daerah yang digunakan
untuk tanam paksa, namun dalam penerapannya berbeda. Karena pada kelanjutan
system tanam paksa, pemerintah kolonial Belanda mendapatkan pendapatkan banyak
dari pajak yang dikenakan kepada tanah rakyat. Sehingga tak heran jika muncul
dugaan bahwa dalam prakteknya Belanda bukan membebaskan pembayaran pajak tanah,
melainkan tanah yang disediakan untuk penanaman paksa. Hal ini tentu tidak
sesuai dengan ketentuan semula yang diutarakan Belanda kepada rakyat Indonesia,
memang tanah yang digunakan untuk system tanam paksa ini relative kecil namun
jumlah orang ang terlibat dalam system tanam paksa ini relative tinggi.
Ketentuan lain yang terdapat dalam system tanam paksa ini menentukan bahwa
selisih positif antara nilai yang ditaksir dari tanaman dagangan yang
dihasilkan dari pananaman paksa dan jumlah pajak tanah yang harus dibayar oleh
rakyat akan digunakan untuk kepentingan rakyat, jika dilihat dari ketentuan
yang telah di berikan oleh Belanda tersebut, terlihat sangat bagus. Karena
rakyat mendapat apa yang telah mereka berikan kepada Belanda, namun pada
kenyataannya rakyat tidak merasakan hal itu. Hal lain yang menjadi masalah dari
ketentuan yang diberlakukan oleh Belanda ini adalah “nilai yang ditaksir” dari
tanaman dagang, hal ini menjadi masalah karena dalam prakteknya taksiran yang
digunakan untuk tanaman rakyat berada jauh dibawah taksiran di pasar bebas.
Memang Belanda hanya
menginginkan keuntungan yang sangat besar dari Indonesia, sehingga jika difikir
secara akal sehat Indonesia hanya ditipu dan ditipu oleh Belanda. Tanaman yang
menjadi prioritas utama Belanda untuk ditanam oleh para petani adalah Gula dan
Nila (Indigo), namun kedua tanaman ini tidak menggoyahkan tanaman kopi yang
merupakan tanaman yang banyak diburu pada abad ke-19. Sehingga jika disimpulkan
ada tiga tanaman penting yang menjadi prioritas utama bangsa Belanda, selain
tanah yang digunakan untuk penanaman ketiga tanaman tersebut cukup banyak,
tenaga kerja yang ikut dalam tanam paksa ini juga cukup banyak yaitu 450.000
untuk tanaman kopi, 300.000 orang untuk tanaman tebu, dan 110.000 orang untuk
penanaman nila. Dari ketiga tanaman tersebut yang paling berpengaruh dan sangat
diprioritaskan tentunya adalah kopi, beberapa dampak dari penanaman kopi ini
diantaranya tanah milik rakyat menjadi tempat penanaman tanaman yang lain
seperti tebu dan nila.
2.4 Dampak Tanam Paksa
Sebelum membicarakan
tentang dampak dari system tanam paksa ini ada baiknya jika kita terlebih
dahulu mengetahui tentang pembagian tanaman yang wajib ditanam oleh para petani
Indonesia, yaitu tanaman musiman dan tanaman tahunan. Tanaman musiman meliputi
gula, nila, dan tembakau, sedangkan tanaman tahunan meliputilada,kopi, teh, dan
karet. Pembagian dilakukan karena tanaman musiman dapat berseling dengan
tanaman padi untuk kehidupan rakyat, sedangkan untuk tanaman tahunan tidak
dapat berotasi dengan tanaman padi sehingga para petani bisa dibilang rugi.
Seperti yang telah dijelaskan pada paragraph sebelumnya bahwa tanaman wajib
ditanam oleh petani adalah gula dan kopi, dari kedua tanaman ini salah satunya
merupakan jenis tanaman tahunan yang mana tidak dapat diselingi dengan tanaman
padi sehingga merugikan petani. Selain itu jika dilihat dari tanah yang
digunakan untuk penanaman tebu memerlukan tanah yang diirgasi sama dengan padi,
sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwasannya petani diharuskan merelakan sawah
mereka untuk penanaman tebu. Selain itu masyarakat juga memiliki pekerjaan
wajib, yaitu menanam, memanen, dan menyerahkan hasil pertanian mereka kepada
Belanda. Pekerjaan ini tentu sangat memberatkan rakyat, bahkan para penduduk
desa disuruh untuk bekerja layaknya kerja rodi yang pernah diterapkan oleh
Rafles.
Selain tanam paksa yang
sangat membebani rakyat selama 20 tahun (1830-1850), menurut Gonggrijp rakyat
juga masih dipaksa untuk membangun jalan, bangunan tempat kantor, dan lain
sebagainya (kerja rodi). Pekerjaan yang dibebankan kepada rakyat Indonesia
untuk kepentingan Belanda dan kepentingan para pemerintah daerah (bangsa Eropa)
untuk membangun dan merawat tempat-tempat yang telah dibangun oleh Belanda
dengan tidak memperhatika kondisi fisik rakyat, mengakibatkan banyak rakyat
yang meninggal akibat penyakit dan kekurangan makanan. Hingga akhirnya kerja
rodi ini dihentikan oleh Belanda, karena dirasa akan merugikan Belanda akibat
kekurangan pekerja. Sementara itu, di sisi lain pihak Belanda sudah mendapatkan
hasil dari tanaman ekspor yang ditanam oleh pemerintah Belanda. Dari tahun ke
tahun ekspor Belanda meningkat, meningkatnya tanaman ekspor yang dihasilkan
ternyata juga diikuti oleh meningkatnya harga tanaman ekspor di pasar
perdagangan Eropa. Namun ekspor hasil tanaman dagang mengalami kemunduran pada
tahun 1841-1849, hingga pada tahun 1850 tanaman ekspor ini kembali menaik akibat
meningkatnya tanaman yang dihasilkan oleh para petani. Sebagai Negara maritime
dengan luas wilayah yang cukup luas, Indonesia tentunya juga dapat menghasilkan
tanaman lain yang dapat di ekspor ke pasar perdagangan di Eropa seperti
misalnya tembakau, teh, padi, dan lain sebagainya. Namun tanaman lain tersebut
bukannya tidak laku dipasaran, melainkan tanaman yang memang sangat diminati
pada saat itu dipasar perdagangan dunia adalah gula dan kopi, sehingga tanaman
lain tidak begitu diperhatikan. Meskipun tidak mendapatkan perhatian yang
serius dari pemerintah kolonial Belanda, tanaman lain tersebut dapat berkembang
pesat pula. Seperti misalnya padi yang sangat pesat perkembangannya di daerah
Jawa Timur, pesatnya pendapatan padi bagi pemerintah kolonial ini tidak lain
karena petani rajin dan tekun dalam merotasi tanaman yang ditanam. Selain itu
diperbaikinya system irigasi yang dapat mendorong tanaman padi untuk tumbuh
dengan baik, selain menguntungkan tanaman padi, perbaikan system irigasi ini
juga menguntungkan produksi tanaman tebu dan padi yang meruapakan tanaman
wajib.
Kenyataan yang terjadi
di lapangan,peningkatan tersebut tidak berlaku merata secara keseluruhan,
peningkatan-peningkata tersebut hanya terjadi di daerah Jawa Timur. Pemerintah
colonial Belanda hanyanmementingkan produksi tanaman yang laris di pasar Dunia.
Orang-orang pun banyak yang tidak sadar bahwa semua progress tersebut terdapat
beberapa titik lemah, karena selama 10 tahun pertama Culture Stelsel, proses
produksi memang berjalan dengan baik seperti contoh yang terjadi di daerah
Cirebon. Hal tersebut juga terjadi di daerah Demak pada tahun 1848.
Pada tahun 1840, Sistem
Tanam Paksa telah mencapai masa batas-batas kemampuannya untuk menguasai para
petani Jawa. Ini merupakan masa titik balik sejarah Culture Stelsel. Gubernur
Jenderal Rochussen memerintahkan agar mulai mengurangi proses Tanam Paksa.
Penderitaan masyarakat Indonesia selama bertahun-tahun di bawah system Tanam
Paksa akhirnya terdengar ke negeri Belanda dan menggugah hati nurani masyarakat
Belanda. Masyarakat mulai timbul keraguan tentang faedah-faedahnya meneruskan
Tanam Paksa yang dilakukan untuk mengembangkan social ekonomi dan piltik di
negeri Belanda. Perkembangan tersebut berhubungan dengan menyebarnya aliran
liberalis di Eropa Barat pada abad 19. Inti dari paham ini adalah menghendaki
agar seluruh kegiatan ekonomi diurus oleh usaha swasta tanpa campur tangan
pemerintah. Pemerintah hanya berwenang membuat sarana hukum dan administratif.
Beberapa tokoh Belanda
ada yang menentang system Tanam Paksa
bahkan mengingikan agar pemerintah Belanda unutk membangun usaha swasta
di Indonesia untuk kemakmuran Indonesia setelah bertahun-tahun dirugikan oleh
pihak-pihak yang menyalahgunakan wewenang dan kekuasaan di bawah system Tanam
Paksa yaitu antara lain Baron Van Hoevel,Vitalis dan Douwes Dekker. Setelah
berjuang cukup lama akhirnya Culture Stelsel secara perlahan dihapuskan pada
tahun 1860 melalui proses politik yang panjang oleh aliran liberalis.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Gubernur Jendral van
den Bosch memberlakukan system ini dengan mengambil pelajaran dari system pajak
tanah yang gagal pada era sebelumnya oleh Raffles, dari system pajak tanah yang
tidak mampu membuat para penduduk pribumi meningkatkan tanaman ekspor maka
Gubernur Jendral van den Bosch mecoba untuk meningkatkan hasil tanaman ekspor
dengan mengadakan kerjasama dengan para Bupati dan pejabat daerah yang dekat
dengan rakyat. Artinya system feodal di pedesaan harus dimanfaatkan agar para
petani mampu menghasilkan tanaman ekspor yang banyak, untuk itulah Gubernur
Jendral van den Bosch mencoba untuk mengadakan kerjasama dengan para pegawai
pemerintahan yang dekat dengan petani. System tanam paksa ini bisa dikatakan
sebagai bentuk pembaharuan dari system pajak tanah yang pernah dilakukan oleh
VOC selama dua abad, mengapa seperti itu? Hal ini dikarenakan para penduduk
pribumi juga dikenakan pajak oleh Gubernur Jendral van den Bosch, yang mana
pajak yang dikenakan bukan berupa uang melainkan berupa tanaman ekspor yang
telah mereka tanam. Pajak berupa hasil pertanian mereka ini juga menjadi ciri
dari system Tanam Paksa yang dilakukan oleh van den Bosch, hasil dari
pajak-pajak tersebut kemudian dikirim ke negeri Belanda untuk dijual kepada
pembeli dari Amerika dan Eropa dengan harga yang dapat menguntungkan Belanda.
Sekilas memang tidak
ada perbedaan antara system tanam paksa dan pajak tanah yang diberlakukan oleh
VOC, sebenarnya terdapat perbedaan yaitu system yang dimaksud dalan system
tanam paksa ini bukanlah system pada umumnya melainkan terdiri dari beberapa
peraturan local (local arrangements)
yang diterapkan oleh setiap pemerintahan daerah dan berbeda antara satu daerah
satu dengan daerah yang lainnya. Van den Bosch kemudian kembali ke Belanda
untuk menerima jabatan Menteri Kolonial, setelah menerima gelar Menteri
Kolonial van den Bosch masih berusaha agar system tanam paksa yang diterapkan
olehnya masih tetap berada ditangannya sendiri, namun usahnya gagal.
Sepeninggal van den Bosch ke Belanda, Indonesia mengalami masa yang tak
menentu. Masa ini adalah masa dimana para pejabat pemerintah daerah melanjutkan
system tanam paksa yang telah di berlakukan oleh pemerintah kolonial Belanda,
namun setelah van den Bosch sebagai pencetus system tanam paksa pindah dari
Indonesia ke Belanda, para pejabat pemerintah daerah menggunakan keadaan ini
sebagai alat untuk kepantingan pribadi.
Sebelum membicarakan
tentang dampak dari system tanam paksa ini ada baiknya jika kita terlebih
dahulu mengetahui tentang pembagian tanaman yang wajib ditanam oleh para petani
Indonesia, yaitu tanaman musiman dan tanaman tahunan. Tanaman musiman meliputi
gula, nila, dan tembakau, sedangkan tanaman tahunan meliputilada,kopi, teh, dan
karet. Pembagian dilakukan karena tanaman musiman dapat berseling dengan
tanaman padi untuk kehidupan rakyat, sedangkan untuk tanaman tahunan tidak
dapat berotasi dengan tanaman padi sehingga para petani bisa dibilang rugi.
Seperti yang telah dijelaskan pada paragraph sebelumnya bahwa tanaman wajib
ditanam oleh petani adalah gula dan kopi, dari kedua tanaman ini salah satunya
merupakan jenis tanaman tahunan yang mana tidak dapat diselingi dengan tanaman
padi sehingga merugikan petani. Selain itu jika dilihat dari tanah yang
digunakan untuk penanaman tebu memerlukan tanah yang diirgasi sama dengan padi,
sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwasannya petani diharuskan merelakan sawah
mereka untuk penanaman tebu. Selain itu masyarakat juga memiliki pekerjaan
wajib, yaitu menanam, memanen, dan menyerahkan hasil pertanian mereka kepada
Belanda. Pekerjaan ini tentu sangat memberatkan rakyat, bahkan para penduduk
desa disuruh untuk bekerja layaknya kerja rodi yang pernah diterapkan oleh
Rafles.
DAFTAR PUSTAKA
Ø
Notosusanto,
Nugroho, Marwati DDjoened Poesponegoro. 2009.
Sejarah Nasional Indonesia:
Kemunculan Penjajahan di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Ø
www.google.com
Ø
www.yahoo.com
Ø
Tidak ada komentar:
Posting Komentar