SEJARAH AFRIKA
(Disusun guna untuk
memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Afrika)
(Dosen Pengampu Mata
Kuliah Drs.Sugiyanto, BA, M. Hum)
Disusun Oleh :
1. M Khoirul
Umam (100210302007)
2. Warid F.
Faqih (100210302008)
3. Renny Eka P (100210302010)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
Dimensi Politik Libya
Libya terletak dikawasan
utara benua Hitam Afrika. Adapun batas-batasnya sebagai berikut: berbatasan
dengan laut tengah, mesir disebelah timur, sudan di tenggara, chad dan Niger.
Di selatan, serta al jazair da Tunisia disebelah barat. bukota negara Libya
adalah Tripoli. Tripoli sendiri terbagi kedalam beberapa kota, yakni:
Tripolitania, Fezzah, dan Curennaica. Asal kata Libya, berasal dari bahasa
Mesir “Lebu”. Yang berati orang-orang bar-barian yang berasal dari lembah
sungai Nil. Menurut fakta sejarah sebelum menjadi Negara independen, Libya
merupakan salah satu wilayah kekuasaan khalifah islamiah sejak invansi dakwah
Islam ke kawasan utara Afrika yang kemudian dikenal dengan Arab Barat. Kondisi
ini berlangsung sampai masa pemerintahan turki utsmani berkuasa ( abad 16-20 M
).
Secara gamblang penduduk yang bermukim di Libya
terdiri dari tiga etnis, pertama: etnis asli barbar ( keturunan kaum tawariq)
atau bangsa arab yang datang sejak abad ke-7 M, kedua: etnis Turki dan Albania
yang datang pada masa kekuasaan Turki utsmani, dan ketiga: etnis Italy yang
datang sejak masa penjajahan Italy atas Libya tepatnya pada tahun 1911 M.
Pada pemerintahan turki utsmani Libya tumbuh
dengan pesat, apalagi ditambah dengan hadirnya suatu gerakan oposisi yang
bersifat sufistik dan perjuangan politik, gerakan tersebut adalah Tarekat sufi
Sanusiah. Pada kenyataannya kelompok ini menjadi suatu gerakan oposisi yang
sangat kuat, yang memang juga termasuk gerakan sosial keagamaan dan politik .
Di tahun 1911 M Libya mulai di gerogoti serta di
jajah oleh para penguasa Italy, dengan masuknya pasukan Italy di pinggiran kota
Libya serta terus bercokolan di kawasan itu, bahkan dengan melontarkan
tekanan-tekanan militer terhadap masyarakat Libya yang bertujuan merebut
kekuasaan Libya dari tangan Turki utsmani.
Dalam perjalanannya, penjajahan yang di
luncurkan oleh penguasa Italy tersebut tidaklah semulus dengan apa yang mereka
harapkan, banyak perlawanan yang cukup sengit dari rakyat Libya, terutama
mereka yang bergabung dalam gerakan Sanisiah, perlawanan tersebut berupa
penekanan kaum penjajah dengan aksi perang gerilya, seperti yang di komandoi
oleh syahid Umar mukhtar yang sempat bikin gerah kaum penjajah Italy dengan
berbagai kerugian yang mereka tanggung, yang kemudian berakhir pada eksekusi
Umar mukhtar di tiang gantungan oleh penjajah Italy .
Perjuangan rakyat Libya tidak berhenti sampai
disitu, mereka terus mengadakan perlawanan terhadap kaum penjajah sampai mereka
meraih kemerdekaan yang diiringi dengan berakhirnya perang dunia ke-2 setelah
isu kolonialisme menjadi tidak popular lagi, dan banyak sanggahan oleh
masyarakat dunia serta mendapat perlawanan sengit dari Negara-negara terjajah.
Kemerdekaan Libya dengan di deklarasikannya Negara monarki Libya
pada 24 September 1951 dengan lagu kebangsaan Allahu akbar oleh raja Idris I,
beliau merupakan cucu dari pendiri gerakan as-Sanusiah, atas bantuan inggris
dan soviet serta pengakuan dari PBB, Libya pun mengangkat bendera hijau sebagai
lambang kemerdekaannya.
Bermula dari kepemimpinan raja Idris inilah
Libya mulai mengembangkan sayapnya dengan Negara-negara tetangga baik barat
maupun dunia Islam secara menyeluruh. Ditambah lagi pada saat ditemukannya
sumber minyak Libya sekitar tahun 1953, dan dimualinya eksploitasi pada tahun
1956, dan Libya mulai melakukan aksi penjualan minyak ke eropa sejak tahun
1967.
Secara lebih mendasar ekonomi Libya lebih
bersandar pada hasil minyak bumi dari pada sumber lain seperti pertanian, hasil
laut, pertambangan selain minyak, dan perdagangan. Melalui hasil minyak inilah
perkembangan Libya nampak begitu pesat, dapat disaksikan dari keberlangsungan
hidup masyarakat yang samakin mapan, pembangunan yang terus bergilir di setiap
tempat, dan perkembangan lainnya.
Hingga kini sudah lebih dari 75% wilayah
Libya, kecuali kota Sirte dan kota-kota kecil lainnya, sudah di bawah kontrol
penuh pasukan NTC. Apabila lebih dari 60 negara di berbagai kawasan dunia
sudah mengakui legitimasi pemerintahan NTC. Penulis bukan ahli masalah Timur
Tengah.Namun,penulis mencoba memprakirakan apa yang akan terjadi di salah
satu negeri kaya minyak tersebut.
Belajar dari berbagai negeri yang mengalami
transisi dari rezim otoriter ke demokrasi, perubahan itu tidaklah mudah.
Selain itu,rezim juga bisa saja berubah, namun nasib bangsa Libya belum tentu
lebih baik daripada yang mereka alami semasa rezim Khadafi berkuasa lebih
dari 40 tahun itu.Apalagi kita tahu, tidak sedikit kepentingan Barat di
Libya.
Apa yang terjadi di Libya, Irak, dan
Afghanistan bukan melulu soal pergantian rezim. Intervensi Barat di bawah
pimpinan Amerika Serikat (AS) begitu kental. Ini juga bukan soal pertarungan
ideologi antara Islam dan Liberal, melainkan juga bertumpunya kepentingan
Barat soal keamanan energi,dalam hal ini minyak bumi. Seperti tampak nyata
dari apa yang terjadi di Irak dan Afghanistan,Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) telah gagal memberikan rasa aman dan membangun negeri yang
diporak-porandakan oleh pasukan asing di bawah AS.
Tujuan utama dari berbagai invasi itu memang
bukan untuk menyejahterakan rakyat di ketiga negara tersebut atau agar rakyat
dapat menghirup alam kebebasan melalui demokrasi ala Barat, melainkan
bagaimana negara-negara Barat, khususnya AS dan para anggota NATO, dapat
menguasai minyak di Timur Tengah. Kesempatan itu terbuka karena secara
kebetulan negaranegara di Timur Tengah berada di bawah suatu rezim yang
mengabaikan hak-hak sipil dan politik para warga negaranya. Dengan nama
”demokrasi”, Barat ingin melakukan penjajahan baru dalam bentuk penguasaan
aset-aset minyak di berbagai negara itu.
Jika kita lihat apa yang terjadi di Libya,
perubahan politik tidaklah sesuai dengan butir-butir penting yang biasa
terjadi di negara yang mengalami transisi dari otoriter ke demokrasi.Secara
teoritik ada beberapa hal yang biasa terjadi atau kita pelajari. Pertama,
perubahan begitu cepat dan tiada seorang ahli ilmu politik pun yang bisa
menduga (sudden changes).Dalam kasus Libya ini justru tidak terjadi.Ini
tampak jelas dari betapa sulitnya AS dan pasukan NATO menghancurkan kekuatan
rezim Muammar Khadafi.Ini berarti, suka atau tidak, ada sisi nasionalisme
Libya di kalangan loyalis Khadafi untuk menghindarkan negeri itu dijajah
secara sosial, budaya, politik, dan ekonomi oleh bangsa asing.
Biaya ekonomi dan politik begitu besar
dikeluarkan oleh AS dan negara-negara sekutunya untuk menghancurkan Libya
sebagai suatu negara bangsa. Propaganda politik juga bertubi-tubi dilakukan
oleh pers Barat agar Khadafi benar-benar tidak populer di mata rakyatnya.
Lihat bagaimana pers hanya sepihak mengutip ucapan-ucapan mereka yang
mengatakan Khadafi hanya mementingkan diri, keluarga, dan para kroninya,
persis yang juga terjadi di negara-negara dengan sistem otoriter yang ingin
dihancurkan. Kedua, hasrat rakyat untuk bebas dari tindakan sewenangwenang
rezim otoriter. Ketiga,demokrasi berkaitan dengan liberalisasi. Setiap
transisi politik di negara-negara yang pernah mengalami rezim otoriter, kata
”kebebasan” bagaikan medan magnet yang begitu kuat untuk menggerakkan rakyat
agar ikut menghancurkan rezim yang ada. Di setiap perubahan politik itu pula
kata ”pemilihan umum yang bebas” juga dipakai untuk menarik hati rakyat.
Keempat, demokrasi berkaitan dengan kapitalisme. Kita lihat dengan kasatmata
bagaimana lebih dari 60 negara ikut di dalam Pertemuan Paris untuk menentukan
masa depan Libya. Prancis dan beberapa negara Barat bahkan sudah mencabut
pembekuan aset Libya di negaranya untuk ”pembangunan Libya ke depan.”.
Kesalahan utama dari berbagai rezim otoriter ialah mereka tidak mau melakukan
transisi politik secara demokratis di negerinya, sehingga asing harus
melakukan intervensi untuk ”membantu” rakyat di negeri itu untuk melakukan
reformasi politik internal. Kelima, adanya tekanan internasional. Jelas apa
yang digambarkan di atas menunjukkan betapa besarnya tekanan-tekanan
internasional, khususnya dari AS dan sekutunya agar rezim di Libya cepat
berubah. Apa yang terjadi di Afghanistan, Irak, dan Libya menunjukkan betapa
aturan main dalam politik internasional telah berubah dari penekanan pada
”prinsip non-interference” seperti yang dihasilkan dalam Perjanjian
Westphalia 1648 kepada ”Hak untuk Melindungi” (The Right to Protect) sejak
1973 yang seringkali digunakan AS dan sekutunya untuk melakukan tindakan
sepihak atau multilateral yang tidak jarang didukung Dewan Keamanan PBB.
Sayangnya, baik Rusia maupun China, yang juga memiliki hak veto di DK-PBB,
tidak pernah berupaya keras untuk mencegah invasi militer yang didukung atau
tidak didukung PBB itu.
Tiga pedoman yang dikeluarkan Menlu Marty
Natalegawa pada 3 September 2011 merupakan suatu yang amat baik untuk
menunjukkan bahwa kita tetap menerapkan politik luar negeri yang bebas dan
aktif serta ingin melihat rakyat dan bangsa Libya merasa nyaman. Ketiga
pedoman tersebut adalah: pertama, perlindungan terhadap masyarakat sipil di
Libya; kedua, Indonesia menekankan bahwa situasi di Libya hanya dapat
diselesaikan melalui proses politik yang memberikan kesempatan kepada rakyat
Libya untuk menentukan masa depannya sendiri dan; ketiga, Indonesia meminta
masyarakat internasional, khususnya PBB, menciptakan situasi yang kondusif
bagi upaya perlindungan masyarakat sipil dan proses politik dimaksud.
Kita berharap transisi
politik benar-benar akan memberi rasa aman,nyaman,damai, dan sejahtera bagi
rakyat Libya.Hanya melalui kesatuan dan persatuan bangsa, antaretnik dan
gender di Libya negeri itu akan benar-benar terbebas dari kolonialisme asing
dan bangsa sendiri
|
Dimensi kebudayaan Libya
Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil
karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri
manusia dengan belajar. Negara Libya dihuni sebagian besar warga Negara muslim,
hampir 97 % lebih adalah warga Negara muslim. Sebenarnya memiliki kemiripan
dengan Indonesia, dimana Indonesia juga merupakan salah satu Negara dengan jumlah
warga muslimnya yang paling banyak mendominasi. Perbedaannya, jika Libya memang
pada awal adalah Negara islam, sedangkan Indonesia adalah Negara demokratis
dengan jumlah warga muslim terbesar diantara Negara lainnya.
Daerah kebudayaan afrika utara, dimana posisi Libya berada,
meliputi kebudayaan suku-suku bangsa yang sepanjang sejarah telah mengalami
nasib sejarah yang kurang lebih sama , sehingga walaupun asalnya beraneka
warga, tetapi pada dasarnya menampakkan keseragaman. Kebudayaan petani pedesaan
dari ras Kaukasoid yang disebut Barber dan pada umumnya beragama islam.
Kebudayaan rakyat petani pedesaan juga mendapat pengaruh besar dari kebudayaan
peterakan orang Arab Badui yang secara secara besar-besaran masuk berimigrasi
memasuki Afrika Utara pada abad ke 11 dan ke !2 dan yang sampai sekarang masih
hidup mengembara dari peternakan kambing dan unta di berbagai daerah dinegara
Afrika Utara.
Namun sedekat apapun budaya Negara yang mereka tempati tersebut
dengan budaya Negara yang saat ini dikunjungi tetap terdapat perbedaan
didalamnya. Hal ini disebabkan pada dasarnya tiap daerah atau Negara memiliki
perbedaan yang sangat mendasar dalam tiap budayanya. Adapun kemiripan yang ada,
umumnya disebabkan adanya kedekatan wilayah atau bahkan kedekatan pada bidang
agama. Kedekatan pada bidang agama menjadi tolok ukur rasa kedekatan
seseorang terhadap daerah yang baru saja
ditempatinya.
Dari keyakinan subyek penelitian terhadap keyakinan umat islam di
indonesia dengan menjalankan syariat, ternyata tidak sepenuhnya bertahan.
Ternyata subjek penelitian pernah mengalami hal yang mengejutkan bagi dirinya,
karena menghadapi hal yang tidak sesuai dengan keyakinan beragama sekaligus
kebudayaan
Kebudayaan Negara Libya adalah kebudayaan islam. Tidak ada
campuran budaya barat maupun budaya timur yang masuk dalam negaranya. Libya
memiliki kebudayaan sendiri yaitu budaya islam. Keyakinan terhadap budaya islam
sebagai budaya yang dianut oleh negaranya memang cukup beralasan. Mengingat
bahwa Negara Libya merupakan Negara serumpun dengan arab. Orang-orang yang
menghuni Negara tersebut juga pada umumnya adalah keturunan masyarakat arab
yang melakukan perpindahan. Sehingga budaya yang dianut sekalipun juga tidak
berbeda jauh dengan daerah arab. Libya juga menggunakan agama sebagai
pembentukan norma dan peraturan. Kepercayaan Negara terhadap hokum-hukum islam
hingga mengadopsinya dan menerapkannya dalam norma dan peraturan yang berlaku
di Negara Libya. Libya memegang teguh ajaran agama islam, sehingga dengan kata
lain dalam keseharian masyarakat Libya juga memegang teguh kebudayaan islam dan
tidak mengenal budaya pluralism seperti yang ada di Negara-negara lain.
DAFTAR PUSTAKA
·
Barlow, Maude dan Tony
Clarke.2005.Blue Gold Perampasan dan Komersialisasi Sumber Daya Air.
Jakarta:PT.Gramedia Pustaka Utama.
·
Brandily, Monique (December 1984). "Le Tchad face nord
1978-1979" (PDF). Politique
Africaine (16): 45 - 65. http://www.politique-africaine.com/numeros/pdf/016045.pdf.
·
Brecher, Michael & Wilkenfeld, Jonathan
(1997). A Study in Crisis. University of Michigan Press. ISBN 0-472-10806-9.
·
Buijtenhuijs, Rob (December 1984). "Le FROLINAT à
l'épreuve du pouvoir: L'échec d'une révolution Africaine" (PDF). Politique
Africaine (16): 15 - 29. http://www.politique-africaine.com/numeros/pdf/016015.pdf.
·
Buijtenhuijs, Rob (March 1981). "Guerre de guérilla
et révolution en Afrique noire : les leçons du Tchad" (PDF). Politique
Africaine (1): 23 - 33. http://www.politique-africaine.com/numeros/pdf/001023.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar