Jumat, 01 Juni 2012

Libya



SEJARAH AFRIKA
(Disusun guna untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Afrika)
(Dosen Pengampu Mata Kuliah Drs.Sugiyanto, BA, M. Hum)


Disusun Oleh :
1.      M Khoirul Umam       (100210302007)
2.      Warid F. Faqih           (100210302008)
3.      Renny Eka P              (100210302010)


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2012




Dimensi Politik Libya
Libya terletak dikawasan utara benua Hitam Afrika. Adapun batas-batasnya sebagai berikut: berbatasan dengan laut tengah, mesir disebelah timur, sudan di tenggara, chad dan Niger. Di selatan, serta al jazair da Tunisia disebelah barat. bukota negara Libya adalah Tripoli. Tripoli sendiri terbagi kedalam beberapa kota, yakni: Tripolitania, Fezzah, dan Curennaica. Asal kata Libya, berasal dari bahasa Mesir “Lebu”. Yang berati orang-orang bar-barian yang berasal dari lembah sungai Nil. Menurut fakta sejarah sebelum menjadi Negara independen, Libya merupakan salah satu wilayah kekuasaan khalifah islamiah sejak invansi dakwah Islam ke kawasan utara Afrika yang kemudian dikenal dengan Arab Barat. Kondisi ini berlangsung sampai masa pemerintahan turki utsmani berkuasa ( abad 16-20 M ).
Secara gamblang penduduk yang bermukim di Libya terdiri dari tiga etnis, pertama: etnis asli barbar ( keturunan kaum tawariq) atau bangsa arab yang datang sejak abad ke-7 M, kedua: etnis Turki dan Albania yang datang pada masa kekuasaan Turki utsmani, dan ketiga: etnis Italy yang datang sejak masa penjajahan Italy atas Libya tepatnya pada tahun 1911 M.
Pada pemerintahan turki utsmani Libya tumbuh dengan pesat, apalagi ditambah dengan hadirnya suatu gerakan oposisi yang bersifat sufistik dan perjuangan politik, gerakan tersebut adalah Tarekat sufi Sanusiah. Pada kenyataannya kelompok ini menjadi suatu gerakan oposisi yang sangat kuat, yang memang juga termasuk gerakan sosial keagamaan dan politik .
Di tahun 1911 M Libya mulai di gerogoti serta di jajah oleh para penguasa Italy, dengan masuknya pasukan Italy di pinggiran kota Libya serta terus bercokolan di kawasan itu, bahkan dengan melontarkan tekanan-tekanan militer terhadap masyarakat Libya yang bertujuan merebut kekuasaan Libya dari tangan Turki utsmani.
Dalam perjalanannya, penjajahan yang di luncurkan oleh penguasa Italy tersebut tidaklah semulus dengan apa yang mereka harapkan, banyak perlawanan yang cukup sengit dari rakyat Libya, terutama mereka yang bergabung dalam gerakan Sanisiah, perlawanan tersebut berupa penekanan kaum penjajah dengan aksi perang gerilya, seperti yang di komandoi oleh syahid Umar mukhtar yang sempat bikin gerah kaum penjajah Italy dengan berbagai kerugian yang mereka tanggung, yang kemudian berakhir pada eksekusi Umar mukhtar di tiang gantungan oleh penjajah Italy .
Perjuangan rakyat Libya tidak berhenti sampai disitu, mereka terus mengadakan perlawanan terhadap kaum penjajah sampai mereka meraih kemerdekaan yang diiringi dengan berakhirnya perang dunia ke-2 setelah isu kolonialisme menjadi tidak popular lagi, dan banyak sanggahan oleh masyarakat dunia serta mendapat perlawanan sengit dari Negara-negara terjajah.
Kemerdekaan Libya dengan di deklarasikannya Negara monarki Libya pada 24 September 1951 dengan lagu kebangsaan Allahu akbar oleh raja Idris I, beliau merupakan cucu dari pendiri gerakan as-Sanusiah, atas bantuan inggris dan soviet serta pengakuan dari PBB, Libya pun mengangkat bendera hijau sebagai lambang kemerdekaannya.
Bermula dari kepemimpinan raja Idris inilah Libya mulai mengembangkan sayapnya dengan Negara-negara tetangga baik barat maupun dunia Islam secara menyeluruh. Ditambah lagi pada saat ditemukannya sumber minyak Libya sekitar tahun 1953, dan dimualinya eksploitasi pada tahun 1956, dan Libya mulai melakukan aksi penjualan minyak ke eropa sejak tahun 1967.
Secara lebih mendasar ekonomi Libya lebih bersandar pada hasil minyak bumi dari pada sumber lain seperti pertanian, hasil laut, pertambangan selain minyak, dan perdagangan. Melalui hasil minyak inilah perkembangan Libya nampak begitu pesat, dapat disaksikan dari keberlangsungan hidup masyarakat yang samakin mapan, pembangunan yang terus bergilir di setiap tempat, dan perkembangan lainnya.
Hingga kini sudah lebih dari 75% wilayah Libya, kecuali kota Sirte dan kota-kota kecil lainnya, sudah di bawah kontrol penuh pasukan NTC. Apabila lebih dari 60 negara di berbagai kawasan dunia sudah mengakui legitimasi pemerintahan NTC. Penulis bukan ahli masalah Timur Tengah.Namun,penulis mencoba memprakirakan apa yang akan terjadi di salah satu negeri kaya minyak tersebut.
Belajar dari berbagai negeri yang mengalami transisi dari rezim otoriter ke demokrasi, perubahan itu tidaklah mudah. Selain itu,rezim juga bisa saja berubah, namun nasib bangsa Libya belum tentu lebih baik daripada yang mereka alami semasa rezim Khadafi berkuasa lebih dari 40 tahun itu.Apalagi kita tahu, tidak sedikit kepentingan Barat di Libya.
Apa yang terjadi di Libya, Irak, dan Afghanistan bukan melulu soal pergantian rezim. Intervensi Barat di bawah pimpinan Amerika Serikat (AS) begitu kental. Ini juga bukan soal pertarungan ideologi antara Islam dan Liberal, melainkan juga bertumpunya kepentingan Barat soal keamanan energi,dalam hal ini minyak bumi. Seperti tampak nyata dari apa yang terjadi di Irak dan Afghanistan,Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah gagal memberikan rasa aman dan membangun negeri yang diporak-porandakan oleh pasukan asing di bawah AS. 
Tujuan utama dari berbagai invasi itu memang bukan untuk menyejahterakan rakyat di ketiga negara tersebut atau agar rakyat dapat menghirup alam kebebasan melalui demokrasi ala Barat, melainkan bagaimana negara-negara Barat, khususnya AS dan para anggota NATO, dapat menguasai minyak di Timur Tengah. Kesempatan itu terbuka karena secara kebetulan negaranegara di Timur Tengah berada di bawah suatu rezim yang mengabaikan hak-hak sipil dan politik para warga negaranya. Dengan nama ”demokrasi”, Barat ingin melakukan penjajahan baru dalam bentuk penguasaan aset-aset minyak di berbagai negara itu.
Jika kita lihat apa yang terjadi di Libya, perubahan politik tidaklah sesuai dengan butir-butir penting yang biasa terjadi di negara yang mengalami transisi dari otoriter ke demokrasi.Secara teoritik ada beberapa hal yang biasa terjadi atau kita pelajari. Pertama, perubahan begitu cepat dan tiada seorang ahli ilmu politik pun yang bisa menduga (sudden changes).Dalam kasus Libya ini justru tidak terjadi.Ini tampak jelas dari betapa sulitnya AS dan pasukan NATO menghancurkan kekuatan rezim Muammar Khadafi.Ini berarti, suka atau tidak, ada sisi nasionalisme Libya di kalangan loyalis Khadafi untuk menghindarkan negeri itu dijajah secara sosial, budaya, politik, dan ekonomi oleh bangsa asing. 
Biaya ekonomi dan politik begitu besar dikeluarkan oleh AS dan negara-negara sekutunya untuk menghancurkan Libya sebagai suatu negara bangsa. Propaganda politik juga bertubi-tubi dilakukan oleh pers Barat agar Khadafi benar-benar tidak populer di mata rakyatnya. Lihat bagaimana pers hanya sepihak mengutip ucapan-ucapan mereka yang mengatakan Khadafi hanya mementingkan diri, keluarga, dan para kroninya, persis yang juga terjadi di negara-negara dengan sistem otoriter yang ingin dihancurkan. Kedua, hasrat rakyat untuk bebas dari tindakan sewenangwenang rezim otoriter. Ketiga,demokrasi berkaitan dengan liberalisasi. Setiap transisi politik di negara-negara yang pernah mengalami rezim otoriter, kata ”kebebasan” bagaikan medan magnet yang begitu kuat untuk menggerakkan rakyat agar ikut menghancurkan rezim yang ada. Di setiap perubahan politik itu pula kata ”pemilihan umum yang bebas” juga dipakai untuk menarik hati rakyat. Keempat, demokrasi berkaitan dengan kapitalisme. Kita lihat dengan kasatmata bagaimana lebih dari 60 negara ikut di dalam Pertemuan Paris untuk menentukan masa depan Libya. Prancis dan beberapa negara Barat bahkan sudah mencabut pembekuan aset Libya di negaranya untuk ”pembangunan Libya ke depan.”. Kesalahan utama dari berbagai rezim otoriter ialah mereka tidak mau melakukan transisi politik secara demokratis di negerinya, sehingga asing harus melakukan intervensi untuk ”membantu” rakyat di negeri itu untuk melakukan reformasi politik internal. Kelima, adanya tekanan internasional. Jelas apa yang digambarkan di atas menunjukkan betapa besarnya tekanan-tekanan internasional, khususnya dari AS dan sekutunya agar rezim di Libya cepat berubah. Apa yang terjadi di Afghanistan, Irak, dan Libya menunjukkan betapa aturan main dalam politik internasional telah berubah dari penekanan pada ”prinsip non-interference” seperti yang dihasilkan dalam Perjanjian Westphalia 1648 kepada ”Hak untuk Melindungi” (The Right to Protect) sejak 1973 yang seringkali digunakan AS dan sekutunya untuk melakukan tindakan sepihak atau multilateral yang tidak jarang didukung Dewan Keamanan PBB. Sayangnya, baik Rusia maupun China, yang juga memiliki hak veto di DK-PBB, tidak pernah berupaya keras untuk mencegah invasi militer yang didukung atau tidak didukung PBB itu.
Tiga pedoman yang dikeluarkan Menlu Marty Natalegawa pada 3 September 2011 merupakan suatu yang amat baik untuk menunjukkan bahwa kita tetap menerapkan politik luar negeri yang bebas dan aktif serta ingin melihat rakyat dan bangsa Libya merasa nyaman. Ketiga pedoman tersebut adalah: pertama, perlindungan terhadap masyarakat sipil di Libya; kedua, Indonesia menekankan bahwa situasi di Libya hanya dapat diselesaikan melalui proses politik yang memberikan kesempatan kepada rakyat Libya untuk menentukan masa depannya sendiri dan; ketiga, Indonesia meminta masyarakat internasional, khususnya PBB, menciptakan situasi yang kondusif bagi upaya perlindungan masyarakat sipil dan proses politik dimaksud.
Kita berharap transisi politik benar-benar akan memberi rasa aman,nyaman,damai, dan sejahtera bagi rakyat Libya.Hanya melalui kesatuan dan persatuan bangsa, antaretnik dan gender di Libya negeri itu akan benar-benar terbebas dari kolonialisme asing dan bangsa sendiri





Dimensi kebudayaan Libya
Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Negara Libya dihuni sebagian besar warga Negara muslim, hampir 97 % lebih adalah warga Negara muslim. Sebenarnya memiliki kemiripan dengan Indonesia, dimana Indonesia juga merupakan salah satu Negara dengan jumlah warga muslimnya yang paling banyak mendominasi. Perbedaannya, jika Libya memang pada awal adalah Negara islam, sedangkan Indonesia adalah Negara demokratis dengan jumlah warga muslim terbesar diantara Negara lainnya. 
Daerah kebudayaan afrika utara, dimana posisi Libya berada, meliputi kebudayaan suku-suku bangsa yang sepanjang sejarah telah mengalami nasib sejarah yang kurang lebih sama , sehingga walaupun asalnya beraneka warga, tetapi pada dasarnya menampakkan keseragaman. Kebudayaan petani pedesaan dari ras Kaukasoid yang disebut Barber dan pada umumnya beragama islam. Kebudayaan rakyat petani pedesaan juga mendapat pengaruh besar dari kebudayaan peterakan orang Arab Badui yang secara secara besar-besaran masuk berimigrasi memasuki Afrika Utara pada abad ke 11 dan ke !2 dan yang sampai sekarang masih hidup mengembara dari peternakan kambing dan unta di berbagai daerah dinegara Afrika Utara.
Namun sedekat apapun budaya Negara yang mereka tempati tersebut dengan budaya Negara yang saat ini dikunjungi tetap terdapat perbedaan didalamnya. Hal ini disebabkan pada dasarnya tiap daerah atau Negara memiliki perbedaan yang sangat mendasar dalam tiap budayanya. Adapun kemiripan yang ada, umumnya disebabkan adanya kedekatan wilayah atau bahkan kedekatan pada bidang agama. Kedekatan pada bidang agama menjadi tolok ukur rasa kedekatan seseorang  terhadap daerah yang baru saja ditempatinya. 
Dari keyakinan subyek penelitian terhadap keyakinan umat islam di indonesia dengan menjalankan syariat, ternyata tidak sepenuhnya bertahan. Ternyata subjek penelitian pernah mengalami hal yang mengejutkan bagi dirinya, karena menghadapi hal yang tidak sesuai dengan keyakinan beragama sekaligus kebudayaan
Kebudayaan Negara Libya adalah kebudayaan islam. Tidak ada campuran budaya barat maupun budaya timur yang masuk dalam negaranya. Libya memiliki kebudayaan sendiri yaitu budaya islam. Keyakinan terhadap budaya islam sebagai budaya yang dianut oleh negaranya memang cukup beralasan. Mengingat bahwa Negara Libya merupakan Negara serumpun dengan arab. Orang-orang yang menghuni Negara tersebut juga pada umumnya adalah keturunan masyarakat arab yang melakukan perpindahan. Sehingga budaya yang dianut sekalipun juga tidak berbeda jauh dengan daerah arab. Libya juga menggunakan agama sebagai pembentukan norma dan peraturan. Kepercayaan Negara terhadap hokum-hukum islam hingga mengadopsinya dan menerapkannya dalam norma dan peraturan yang berlaku di Negara Libya. Libya memegang teguh ajaran agama islam, sehingga dengan kata lain dalam keseharian masyarakat Libya juga memegang teguh kebudayaan islam dan tidak mengenal budaya pluralism seperti yang ada di Negara-negara lain.







DAFTAR PUSTAKA
·        Barlow, Maude dan Tony Clarke.2005.Blue Gold Perampasan dan Komersialisasi Sumber Daya Air. Jakarta:PT.Gramedia Pustaka Utama.
·        Brandily, Monique (December 1984). "Le Tchad face nord 1978-1979" (PDF). Politique Africaine (16): 45 - 65. http://www.politique-africaine.com/numeros/pdf/016045.pdf.
·        Brecher, Michael & Wilkenfeld, Jonathan (1997). A Study in Crisis. University of Michigan Press. ISBN 0-472-10806-9.
·        Buijtenhuijs, Rob (December 1984). "Le FROLINAT à l'épreuve du pouvoir: L'échec d'une révolution Africaine" (PDF). Politique Africaine (16): 15 - 29. http://www.politique-africaine.com/numeros/pdf/016015.pdf.
·        Buijtenhuijs, Rob (March 1981). "Guerre de guérilla et révolution en Afrique noire : les leçons du Tchad" (PDF). Politique Africaine (1): 23 - 33. http://www.politique-africaine.com/numeros/pdf/001023.pdf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar