Jumat, 01 Juni 2012

Myanmar


BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang Masalah

Myanmar (Burma) adalah salah satu wilayah di Asia Tenggara yang berada di ujung sebelah timur Asia Tenggara, Myanmar juga terkenal dengan bekas jajahan Inggris yang paling terbelakang. Ketika menjadi wilayah kolonial Inggris, Myanmar pernah disatukan dengan India oleh Inggris. Penyatuan yang dilakukan oleh Inggris memiliki alasan tersendiri, yaitu agama yang dianut sama-sama agama budha, sehingga Inggris mempersatukan Mmyanmar dengan India. Namun dalam perkembangannya, Inggris kembali memecah wilayah India dengan Myanmar. Hal ini tentunya memiliki alasan diantaranya yaitu terdapat perbedaan dari masyarakat Myanmar dan India, diantara perbedaannya adalah wilayah geografis yang tentunya menentukan pola hidup (makan, bersosial, dll. Seperti kebanyakan negara-negara di dunia, Myanmar juga terdiri dari beberapa suku bangsa, seperti yang telah di jelaskan dalam Sejarah Asia Tenggara I yaitu suku bangsa Shan (bangsa Siam) dan Kachin (dibagian utara). Awalnya Myanmar adalah sebuah bangsa yang tertutup, bangsa Myanmar merasa bahwa mereka berbeda dengan bangsa Asia Tenggara pada umumnya. Bangsa Myanmar menutup menutup diri dikarenakan mereka masih sangat memegang teguh ajaran India yang masih kental, sehingga sangat sulit bagi mereka untuk menerima kebudayaan dari luar begitu saja. Namun akibat dampak globalisasi dan modernisasi yang semakin marak terjadi di setiap negara di Asia Tenggara, maka Myanmar harus mengikuti hal tersebut agar tidak menjadi negara terbelakang dan negara mati di dunia.




1.2 Rumusan Masalah
            Masalah yang dibahas dalam penulisan makalah ini adalah :
1)      Apakah faktor yang melatar belakangi kedatangan Inggris?
2)      Bagaimana reaksi masyarakat Myanmar dengan kedatangan penjajah (Inggris)?
3)      Bagaimana masyarakat Myanmar mendapatkan kemerdekaannya?

1.2  Tujuan Penulisan
            Tujuan daripada penulisan makalah ini adalah :
1)      Diharapakan  para pembaca dapat mendapatkan informasi mengenai Awal Kedatangan Inggris Hingga Kemerdekaan Burma (Myanmar);
2)      Bagi penulis tentunya ini dapat dijadiakan sebagai tolak ukur pengetahuan penulis mengenai Awal Kedatangan Inggris Hingga Kemerdekaan Burma (Myanmar).


 BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Keadaan Bangsa Burma dan Kedatangan Inggris

Agama Budha bisa masuk ke Myanmar di karenakan oleh hubungan perdagangan yang terjadi antara Myanmar dan India yang jaraknya juga tidak berjauhan, dari perdagangan-perdagangan itulah kemudian menjadikan Myanmar penganut agama Budha dan menjadikan masyarakat Myanmar memegang dengan erat agama yang diturunkan secara turun temurun tersebut. Setelah mengenal agama dan beberapa kebudayaan India, maka bermunculan kerajaan-kerajaan kecil yang mulai didirikan oleh masyarakat Myanmar. Semenjak mengenal kebudayaan dan agama India yang perlahan mulai dianut oleh masyarakat Myanmar, maka Myanmar mulai memasuki zaman sejarah yaitu dengan di berikannya ilmu tulis kepada masyarakat Myanmar oleh India. Kerajaan yang pertama di wilayah Myanmar adalah kereajaan Pagan yang didirikan oleh Anawratha, kerajaan ini berdiri cukup lama yaitu sekitar 2,5 abad dan kemudian hancur karena serangan dari Tiongkok dengan raja Kubhilai Khan. Akibat hancurnya kerajaan Myanmar, muncullah beberapa kerajaan kecil yang menghiasi wilayah Myanmar. Myanmar kembali dapat dipersatukan oleh kerajaan Toungoo dibawah kepemimpinan Tabin Shwehti, kerajaan ini juga sempat melebarkan wilayah kekuasaan sampai ke Siam (kerajaan di Thailand). Kerajaan Toungoo adalah salah satu dinasti kerajaan Burma pada saat itu, dinasti lain yang berdiri pada kerajaan Burma adalah kerajaan Konbaung.

Kerajaan Toungoo mundur karena tidak bisa menjaga eksistensinya di Wilayah Myanmar, maka muncullah kerajaan baru di wilayah Myanmar yaitu kerajaan Ava (1752), dengan bantuan dari Inggris kerajaan ini mampu mempersatukan Myanmar (Burma) kembali. Awal perkenalan Inggris dengan kerajaan Ava adalah dari perdagangan yang baik diantara keduanya, karena kerajaan ini merasa membutuhkan bantuan dari luar maka terpilihlah Inggris. Dari pihak Inggris pun memiliki alasan tersendiri untuk membantu kerajaan Ava mempersatukan Myanmar (Burma), diantaranya adalah menghalangi Prancis yang mencoba meluaskan wilayah kekuasaannya ke Barat dan Inggris ingin mendapatkan sumber daya alam yang ada diwilayah Burma. Pengganti Alaungpaya memiliki kekuatan yang baik sehingga mereka memiliki jiwa untuk memperluas kekuasaan, hingga akhirnya Siam kembali bisa di kuasai oleh Myanmar. Merasa tidak puas dengan wilayah kekuasaan yang ada maka kerajaan Ava kembali melakukan perluasan wilayah ke India, wilayah India pada saat itu masih dibawah kekuasaan Inggris sehingga muncullah peperangan antara Inggris dan Myanmar (kerajaan Ava).

2.2 Konflik Antara Inggris dan Kerajaan Burma

Perang Inggris-Ava (Myanmar) pun terjadi pada tahun 1824, peperangan ini disebut juga perang Anglo-Burmese I yang terjadi pada 1824-1826. Dalam perang ini Burma harus merelakan Assam dan Manipur kembali menjadi wilayah jajahan Inggris, Inggris terkenal dengan militer dan persenjataan yang baik, hingga tak heran jika kerajaan Burma kalah. Untuk mengurangi korban peperangan yang semakin banyak, maka kerajaan Ava mengadakan perundingan dengan pihak Inggris yang disebut dengan perjanjian Yandabu (Treaty of Yandabo) pada 1826. Perang Anglo-Burmese kembali terjadi untuk kedua kalinya ketika raja Kagan Min menghentikan hubungan perdagangan dengan Inggris, raja Kagan Min pun jatuh dan digantikan oleh Mindon Min yang kemudian Mindon Min menyerah kepada Inggris, dan akhirnya Inggris berhasil menguasai wilayah strategis Burma yaitu wilayah di daerah lembah sungai Irawady yang disebut Lower Burma. Lower Burma adalah adalah suatu wilayah yang dianeksasi Inggris, daerah ini meliputi wilayah Burma bagian Selatan yang berpusat pada Rangoon. Karena daerah strategis sudah menjadi wilayah kekuasaan Inggris, maka ibukota Burma dipindah ke Mondalay pada tahun 1857. Peperangan Anglo-Burmese kembali terjadi untuk yang ketiga kalinya pada tahun 1885, namun kali ini kerajaan Burma memanfaatkan Perancis yang merupakan musuh bebuyutan Inggris. Tujuan kerajaan Burma mengadakan hubungan rahasia dengan Perancis adalah untuk mendapatkan kemerdekaan setelah wilayah Burma perlahan dikuasai oleh Inggris, hubungan yang dilakukan oleh kerajaan Burma ini menimbulkan kemaraha pada pihak Inggris hingga Inggris menyerang seluruh wilayah Burma terutama ibukota Mondalay. Setelah berhasil menaklukkan wilayah Burma, Inggris menahan raja Burma (Raja Thibaw) yang menjadi motor penggerak hubungan rahasia Burma dengan Perancis. Akhirnya Raja Thibaw diasingkan ke India oleh pemerintah Inggris pada tahun 1886, sejak saat itulah Myanmar resmi menjadi wilayah jajahan Inggris. Pada awal tahun 1886, tepatnya tanggal 1 Januari 1886 Inggris menganeksasi wilayah yang disebut Upper Burma.

2.3 Burma Menjadi Wilayah Jajahan Inggris

Setelah Burma mejadi wilayah jajahan Inggris, Burma dijadikan provinsi India oleh Inggris pada tahun 1886. Latar belakang dijadikan Burma menjadi Provinsi India karena Burma memiliki kesamaan budaya dan agama, sehingga semua peraturan yang ditetapkan oleh Inggris terhadap India juga berlaku pada Burma. Inggris yang terkenal dengan Revolusi Industrinya pada 1760, maka wilayah jajahan yang secara tidak langsung terkena imbasnya. Misalnya di Burma terjadi perubahan yang signifikan dalam hal pertanian, yakni dari pertanian yang hanya bertujuan untuk mencukupi kebutuhan sendiri menjaid pertanian yang juga bertujuan untuk dipasarkan. Terjadinya perubahan ini bukan tidak mendapat respon dari masyarakat, timbul beberapa konflik (non-fisik) antara masyarakat dan pihak Inggris. Meskipun demikian masyarakat tetap dapat menikmati hasil dari perubahan tersebut, karena Inggris bukanlah negara seperti Belanda yang menjajah dengan mengambil semua hasil alam pada daerah jajahan.
Selain itu Inggris juga mengirimkan imigran India ke Burma, hal ini dilakukan oleh Inggris untuk mengurangi kepadatan yang berada di India. Para Imigran India mulai beradaptasi dengan lingkungan Burma, hingga tak heran jika pada tahun 1930-an perekonomian Rangoon dikuasai oleh orang India. Burma dipisahkan oleh Inggris sebagai provinsi India pada 1937, pemisahan ini dilakukan karena terdapat permasalah ekonomi yang kemudian berlanjut pada masalah rasial (Shelby Tucker). Produksi pertanian Burma memburuk pada tahun 1930-an yang disebabkab oleh dikuasainya tanah pertanian Burma oleh rentenir India, akibatnya muncul gerakan anti-India. Agar gerakan anti-India ini tidak semakin meluas maka pemerintah Inggris atas saran dari Lord Simon untuk memisahkan Burma dengan India, akhirnya Inggris memisahkan Burma dari Provinsi India pada 1 April 1937. Akibat pemisaha itu, maka pemerintah Inggris mendirikan pemerintahan sendiri di Burma yang terdiri dari dua bagian yaitu Senat (upper house) yang terdiri dari 36 Anggota dan House of Representative (lower house) yang terdiri dari 132 kursi.
Perubahan yang signifikan juga terjadi pada bidang administrasi, pada awalnya segala bentuk pemerintahan Burma berada ditangan biksu (pongyis). Semua berubah ketika Inggris datang tanpa disengaja, hal inilah yang kemudian memunculkan kecemasan dari pihak pendeta karena mereka berfikir bahwa Burma akan menjadi negara sekuler (bersifat keduniaan), hingga para biksu ini mempelipori gerakan nasionalisme (gerakan kemerdekaan).
Inggris juga mendirikan Universitas Rangoon untuk mendapatkan masyarakat Burma yang berkualitas, sehingga dapat ditempatkan dalam tenaga kerja dan pegawai kantor. Pemerintah Inggris juga membangun jalur kereta api, sistem pos yang modern, dan beberapa alat komunikasi, yang mana kesemuanya itu membutuhka orang yang berkaulutas untuk mengoperasikannya.

2.4 Munculnya Nasionalisme

Seperti halnya di Indonesia, di Burma juga terdapat gerakan-gerakan dari masyarakat untuk merdeka (gerakan nasionalis). Gerakan untuk merdeka ini pertama kali dipelopori oleh biksu (pongyis), para biksu menganggap peratutan yang diterapkan oleh Inggris yang menjatuhkan nilai biksu dalam masyarakat Burma dan menjadikan negara Burma menjadi negara sekuler (bersifat keduniaan). Akhirnya pada tahun 1906 para pongyis (biksu budha) mendirikan organisasi yang bernama Young Men’s Buddhis Association (YMBA), organisasi ini diketuai oleh U May Oung. Organisasi ini menitik beratkan pada keagamaan dan pelayanan sosial, karena tidak ingin menjadikan negara Burma menjadi negara sekuler, maka para pongyis (biksu budha) mencoba untuk menyadarkan para komunitas biksu budha (sangha) agar tidak menjadi sekuler. Selain itu para pongyis (biksu budha) juga menanamkan rasa nasionalisme pada masyarakat Burma, hingga pada tahun 1920 organisasi ini berubah nama menjadi Dewan Umum Perkumpulan Budha (GCBA (General Council of Buddhist Associations)) yang di ketuai oleh U Chit Hlaing. Perubahan nama ini menandakan anggota organisasi ini bertambah luas, anggota oraganisasi GCBA ini juga mencakup para pelajar dan non-biksu lainnya. Hal ini terbukti dengan demonstrasi yang melibatkan mahasiswa pada tanggal 4 Desember 1920 untuk menentang kebijakan Universitas yang bersifat elistis, selain itu mereka berdemonstrasi karena dibatasinya kegiatan mahasiswa di universitas Rangoon. Pembatasan yang dilakukan oleh pihak Inggris kepada mahasiswa diantaranya adalah dilarang mempublikasikan famflet-famflet yang berisikan pilitik, diskusi politik di arena kampus, pengawalan ketat para mahasiswa di asrama-asrama sehingga menyulitkan gerakan mahasiswa untuk berkonsolidasi.
Demonstrasi terbesar ini juga memprotes diskriminasi politik yang terdapat dalam Montagu-Chelmsford Reform, yaitu sebuah proposal yang berisi program perubahan yang direncanakan Inggris untuk menempatkan dewan legislatif India pada tingkat provinsi. Dewan legislatif tersebut mayoritas terdiri dari orang Inggris dan India, sementara orang Burma tidak diberi posisi untuk menduduki dewan legislatif tersebut. GCBA menginginkan agar mereka diberikan wewenang untuk menontrol sendiri pemerintahan di Burma, mereka kemudian memboikot pemilihan umum untuk memilih dewan yang baru dan menolak posisi eksekutif di kabinet. Perbedaan pendapat di tubuh GCBA mengenai pemisahan Burma dengan India mengakibatkan Dr. Ba Maw menyatakan mengundurkan diri dan membentuk organisasi baru yang bernama partai Sinyetha (Poor Man’s Party) pada tahun 1936, Dr. Ba Maw menyatakan mengundurkan diri karena mendukung tindakan Inggris yang memisahkan Burma dengan India.
Selain mendukung pemisahan Burma dengan India, partai Sinyetha juga mendukung pengurangan pajak, perlindungan petani dari rentenir, dan mendukung wajib belajar. Pergerakan nasional di Burma mulai tampak ada kemajuan ketika terbentuknya Student’s Union pada tahun 1935 di Universitas Rangoon, dari pemilihan ini terpilih Ko Nu (kakak Nu (U Nu)) sebagai ketua dan Aung San, Kyaw Nyein, Kyaw Myint, Ba Swe, M.A Raschis, Tun Win, dan Thein Pe sebagai anggota komitenya. Organisasi ini adalah organisasi pertama yang kritis terhadap pemerintah kolonial Inggris (Hugh Tinker), tujuan dibentuknya organisasi ini sudah sangat jelas yaitu ingin membebaskan Burma dari kolonialisme Inggris. Organisasi ini tidak menyia-nyiakan setiap peluang yang ada, diantara peluang itu adalah kampanye yang dilakukan oleh Student’s Union. Dari kampanye yang dilakukan maka Ko Nu sebagai ketua dipenjara, dan Aung san di keluarkan dari Universitas Rangoon. Tak berselang lama, para anggota Student’s Union mengadakan rapat untuk berdemonstrasi menolak tindakan pemerintahan Inggris terhadap Ko Nu dan Aung San. Beberapa bulan kemudian Ko Nu di bebaskan dari penjara dan Aung San diperbolehkan kembali belajar di Universitas Rangoon.

Setelah Aung San dan Nu menyelesaikan kuliahnya di Universitas Rangoon, mereka berdua masuk dalam organisasi Dobama Asiayone (We Burma Asociation) atau yang disebut dengan Thakin. Organisasi ini didirikan oleh Thakin Ba Sein dan Thakin Ko pada tahun 1929. Organisasi ini menamakan diri Thakin (yang berarti tuan dalam bahasa Burma), mereka membuat legitimasi bahwa mereka adalah tuan di negara sendiri. Keanggotaan organisasi ini dimulai dari para pengajar, mahasiswa, dan biksu. Mereka beranggapan bahwa kedudukan mereka sama dengan kedudukan Inggris, pemikiran-pemikiran mereka juga banyak di pengaruhi oleh faham Marxisme dan Leninisme. Kemudian pada tahun 1939 Dobama Asiayone mendirikan ketentaraan yang disebut Bama Let Yon Tat (Steel Corps), ketentaraan Dobama Asiayone ini dipimpin oleh Aung San.

            Sama seperti CGBA, organisasi Dobama Asiayone juga terpecah belah, namun perbedaannya adalah Dobama Asiayone terpecah menjadi tiga bagian yaitu kelompok yang dipengaruhi oleh kaum komunis yaitu Thakin Soe dan Thein Pe. Kelompok yang kedua adalah kelompok yang dipengaruhi oleh sosialis demokratis yang dipelopori oleh Aung San, dan kelompok yang ketiga yaitu kelompok yang dipelopori oleh agaman Budha yang dipelopori oleh Thakin U Be Swe dan U Nu.

2.5 Akhir Masa Kolonialisme Inggris dan Awal Kolonialisme Jepang

Masa kolonialisme Inggris berakhir ketika Jepang sebagai negara ekspansonis mengadakan invasi ke daerah Burma, beberapa faktor yang melatarbelakangi invasi Jepang ini dianataranya berkuasanya klan samurai anti kapitalis dan komunis. Mereka adalah penganut sosialis ekstrem yang memiliki kesetiaan tinggi terhadap kaisar, oleh karena itu mereka menjadi totaliter dan fasis. Faktor berikutnya adalah faktor buruknya hubungan Jepang dengan Amerika Serikat dan Inggris akibat invasi yang dilakukan Jepang ke Cina, dimana pada saat itu Cina mempunyai hubungan dagang dengan Amerika Serikat dan pihak Amerika banyak membantu Cina.
Ekspansi Jepang ke wilayah Asia Tenggara pada umumnya dilatarbelakangi oleh keinginam Jepang untuk mendapatkan sumberdaya mentah untuk menopang pembangunan Jepang, utamanya adalah dalam bidang militer. Pencarian sumber daya mentah ini adalah salah satu usaha yang dilakukan oleh Jepang untuk menjadi negara unggul dan superrior diantara negara-negara di Asia Tenggara, Jepang kemudian mempopulerkan Greater Asia Co-Prospherity Sphare (suatu tatanan negara dimana Jepang memiliki kekuasaan penuh) pada tahun 1938 oleh kabinet Konoyo di Tokyo. Jepang membentuk Imperial Japanese Army yang mengurusi masalah pemerintahan dan militer di Asia Tenggara, selain itu Jepang juga membentuk Hohei Ju-go Shidan yaitu badan resmi yang mengatur administrasi dan militer di Burma. Pada tahun 1940 Hohei Ju-go Shidan mengutus Kolonel Keiji Suzuki untuk berunding dengan Thakin, Kolonel Keiji Suzuki menawarkan bantuan kepada Thakin jika thakin mau membantu Jepang dalam Perang Dunia II. Namun kelompok Thakin Soe yang menganut aliran komunis menolaknya, Thakin Soe menganggap bahwa kaum fasis lebih berbahaya dari pada Inggris. Begitu juga dengan alirang sosialis demokratis yang di pelopori oleh Aung San menolak, Aung San kemudian meminta bantuan Chinese Comunist Party (CCP). Ketika Aung San hendak pergi ke ke Shanghai untuk mengadakan kontak dengan CCP dengan menyamar sebagai orang Cina, Aung san tertangkap tentara Jepang di Amoy. Jepang kembali menawarkan bantuan kepada Burma untuk mendapakan kemerdekaan dengan mendapatkan persenjataan yang lengkap dan pelatihan militer kepada Burma, selain itu Jepang juga mengaluarkan propaganda “Burma untuk Burma” dan “Pembebasan Burma dari kolonilisme Inggris”.

Akhirnya Aung San menyetujui perjanjian dengan Jepang tersebut, dalam hal ini Jepang bukan hanya ingin menambah pasukan untuk Perang Dunia II melainkan ada hal lain yang di inginkan oleh Jepang. Diantara keinginan Jepang tersebut diantaranya adalah untuk mengeksploitasi sumber daya alam Burma untuk kepentingan militer Jepang, selain itu Jepang juga ingin memotong jalur Burma Road (Jalur yang dibangun oleh Inggris untuk menyuplai bantuan dari Anglo-Amerika kepada pemerintahan Chungking di Cina). Setelah terjadi perstujuan antara Kolonel Suzuki dengan Aung san, Kolonel Suzuki membuat semacam panduan yang harus dilakukan oleh Burma pada bulan Agustus 1940 untuk mencapai kemerdekaan panduan tersebut dikenal sebagai “Plan for Burma’s Independence”. Tahapan pertama yang harus dilakukan Burma adalah sekelompok nasionalis Burma yang berjumlah 30 orang diselundupkan ke perbatasan Thailand-Burma, kemudian tahapan kedua adalah 30 orang dari keompok nasionalis Burma mendapatkan pelatihan dari instruktur Jepang selama 6 bulan, dan langkah yang terakhir adalah mengirim 30 orang nasionalis Burma ke Burma untuk memulai gerakan bersenjata untuk melawan pemerintah kolonial Inggris.

Untuk menjalankan rencana pertama, yaitu menyelundupkan 30 orang nasionalis Burma keperbatasan Thailand-Burma, pemerintah Jepang beserta Aung San bekerjasama membentuk suatu badan penyelundupan yang bernama Minami Kikan (Minami Intelegence Organization). Badan penyelundupan ini dipelopori oleh 6 angkatan perang (terdiri dari kolone Keiji Suzuki, Kapten Takenobu kawashima, Kapten Naomi Kakubo, Letnan Takeshi Noda, Letnan Hachiro Takashi, dan Letnan Masyayoshi Tamato), Pegawai kelautan (terdiri dari Kaptern Kojima, Hidaka, dan Nagayama), dan tujuh orang sipil (terdiri dari Mitsuru Sugii, Noriyoshi Yokada, Takeshi Higuci, Inao Mizutani, Shozo Kakobu, Aung San, dan Hla Myaing). Badan penyelundupan ini berada dibawah komado Imperial General Heardquartes (IGHQ) di Tokyo yang di kepalai oleh Kolonel Suzuki, badan penyelundupan bekerjasama dengan perusahaan pengelola barang angkutan, Mr. Yamata. Hal ini dilakukan agar tidak muncul kedurigaan dari pihak kolonial Inggris, pada tanggal 12 Maret-8 Juli 1941dimulai perjalanan mengangkut 30 orang nasionalisme Burma dengan menggunakan 4 kapal (Shuten-Maru, Genzan-Maru, Saigon-Maru, dan Asahiyama-Maru).

Sesampainya di Hainan, tugas badan penyelundupan masih belum selesai, mereka masih harus memberikan pelatihan kepada 30 nasionalis Burma (yang disebut Thirty Comrades) dan mengembalikannya ke Burma. Sebagai instruktur, dipilihlah seorang perwira militer bernama San-a di Hainan oleh Angkatan Laut. Lokasi tempat berlatih para 30 orang nasionalis Burma berada dihutan sebelah barat Hainan (San-a Agrikultural Training Institute), kamp tempat berlatih Thirty Comrades dipimpin oleh Letnan Fukuike dari angkatan bersenjata yang masih asisten Kapten Kawashima. Latihan militer dimulai pada tanggal 11 April 1941, dan berakhir pada Oktober 1941. Latihan perang yang dijalani terbagi menjadi 3 bagian keserasian individu, bagian pertama (Aung San, Aung Than, Than Ok, dan Hla Pe) di didik mengenai komado pasukan dan administrasi, bagian kedua (Shu Maung, Tun Shein, Hla Maung, dan Shwe) di didik mengenai taktik gerilya, dan bagian ketiga (berisi anggota-anggota muda Thirty Comrades) di didik mengenai teknik peperangan. Kemudian latihan di teruskan di Tamazato (Taiwan), disana Thirty Comrades di didik mengenai baris berbaris, pelatihan bayonet, taktik dan strategi perang, dan penggunaan senjata.

Di sisi lain, berdasarkan Plan for Burma’s Independence pada Februari 1941, Kolonel Suzuki membuat pusat operasional di Bangkok. Pusat operasional ini didirikan untuk memperlancar kamunikasi antara Minami Kikan dan Thakin di Burma, kemudian pada tanggal 21 Februari 1941 Kolonel Suzuki berhasil membangun pusat operasional di Bangkok. Dalam menjalin komunikasi dan pengiriman barang, pusat operasional (Bangkok Branch) berganti nama menjadi Nampo Kigyo Chosa Kai (Research Association for Southern Region Enterprise) yang dikepalai oleh Kapten Angkatan Laut yaitu Kapten Kojima. Sedangkan anggota Minami Kikan di Thailand menyamar menjadi penambang dan kegiatan kehutanan, kemudian pada tanggal 21 Desember 1941, Kolonel Suzuki memasuki Bangkok dan berhasil membua markas Minami Kikan. Berdasarkan Plan for Burma’s Independence pula, pada tanggal 27 Desember 1941, Kolonel Suzuki membentuk Burma Independence Army (BIA) di Bangkok. Anggota BIA ini diantaranya juga terdapat anggota Minami Kikan dan beberapa masyarakat Burma yang sudah menetap di Bangkok. Setiap anggota BIA dipersenjatai dengan lengakap, BIA dibangun untuk membantu Jepang untuk menaklukkan Inggris di Burma dan menertibakan dan peraturan didaerah yang akan diduduki oleh Jepang.

Sebelum melakukan penyerangan terhadap Inggris di Burma, Kolonel Suzuki mengirim anggota BIA untuk melihat keadaan di Burma. Setelah melihat keadaan, maka Jepang dibantu dengan 30 nasionalisme Burma dan BIA menyerang Lower dan Upper Burma terlebih dahulu kemudian menyerang Rangoon yang merupakan pusat pemerintahan Inggris di Burma. Kemudian BIA dan Jepang berhasil memukul mundur pasukan Inggris dari Tenasserim ke arah utara, penyerangan ini di bawah komando Lida Shojiro. Penyerangan ini tentu membuat tentara Inggris terkejut, selain itu BIA yang telah mendapatkan latihan cukup keras sudah memiliki rencana yang sangat matang. Penyerangan dilanjutkan oleh BIA dan tentara Jepang ke Rangoon pada bulan Januari sampai Maret 1942, akhirnya pada 8 Maret 1942 BIA dan pasukan Jepang berhasil memukul mundur Inggris dan orang-orang India dari Rangoon ke Simla (India).

Berhasilnya BIA dan tentara Jepang memukul mundur Inggris dari Rangoon, tujuan Jepang untuk memotong jalur Burma Road berjalan dengan lancar. Proses invasi Jepang ke Burma semakin menumbuhkan rasa nasionalisme di kalangan masyarakat, apalagi setelah Jepang memberikan latihan-latiahan militer dan doktrinisasi kepada masyarakat Burma, hingga masyarakat Burma menganggap Jepang sebgai saudara sendiri. Setelah berhasil memukul mundur Inggris dari Burma, Jepang harus menepati janji untuk memberikan kemerdekaan kepada Burma. Namun untuk sementara waktu Jepang mengambil alih pemerintahan Burma, pemerintahan ini dibentuk oleh Kolonel Suzuki pada 7 Maret 1942 dengan nama Baho Goverment dan dikepalai oleh Thakin Tun Ok. Tujuan Baho Goverment adalah untuk menstabilkan administrasi pemerintahan Burma pasca perang melawan Inggris, selain itu Baho Goverment bertujuan untuk mencipatakan situasi dan kondisi yang stabil dan kondusif menjelang pemberian kemerdekaan dari Jepang.

2.6 Kemerdekaan Semu

Di sisi lain, ketika sedang menunggu kemerdekaan Burma yang akan diberikan oleh Jepang sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati antara Jepang dan Aung san, BIA membuat keributan dengan etnis Keren di Distrik Myaungmya. BIA merampas harta, menculik tokoh-tokoh etnis Keren, bahkan membunuhnya. Alasan BIA melakukan hal ini adalah karena etnis Keren dianggap pro-Inggris sehingga  membahayakan pemerintahan, selain itu BIA menganggap bahwa etnis Keren yang menganut agama Kristen akan mengganggu agama yang sudah turun temurun ada di Burma, yaitu agama Budha. Tindakan yang dilakukan oleh BIA banyak menimbulkan permusuhan dengan etnis Keren, hingga peperangan antara BIA dengan etnis Keren berlangsung sampai Juni 1942. Akibat insiden tersebut, Jepang mengambil tindakan tegas dengan membubarkan BIA pada tanggal 24 Juli 1942 dan membentuk BDA (Burma Defense Army) pada tanggal 26 Agustus 1942 dengan ketua Aung San. Akibat insiden itu juga Baho Goverment dianggap gagal memerintah Burma, maka pada tanggal 1 Agustus 1942 dan kembali membetuk pemerintahan dengan nama BEA (Burma Executive Administration) dengan Dr. Ba Maw sebagai pemimpinnya. Antara Baho Goverment dengan BEA memiliki tugas yang sama, hanya saja BEA memiliki tugas tambahan yakni membiayai pertemuan antara Burma dengan Jepang.

Pertemuan antara Jepang dan Burma terjadi di Tokyo (Jepang) pada  tanggal 11 Maret 1943 dengan wakil dari Burma yaitu Dr. Ba Maw, Aung San, Dr. Thein Maung, dan Thakin Mya, membicarakan mengenai kemerdekaan yang akan diberikan kepada Burma pada tahun 1943. Selain itu Jepang menginginkan dibentuknya komite kemerdekaan, kemudian pada tanggal 8 Mei 1943 dibentuklah Burma Independence Prepotatory Committe (Panitia Persiapan Kemerdekaan Burma) oleh Jepang. Meskipun telah dibentuk komite persiapan kemerdekaan Burma, intervensi Jepang masih sangat kuat dalam komite ini. Bahkan yang membuat draft perjanjian antara Jepang dan Burma adalah wakil dari Jepang, perjanjian tersebut berisi tentang akan dibantunya Jepang pada Perang Dunia II. Pada bula Juli Dr. Ba Maw bertolak ke Singapura untuk bertemu dengan Perdana Menteri Tojo untuk membicarakan kemerdekaan yang akan diberikan Jepang, akhirnya pada 1 Agustus 1943 Burma mendapatkan kemerdekaannya dari Jepang. Pada saat mendeklarasikan kemerdekaannya, pada saat itu pula Dr. Ba Maw diangkat menjadi Perdana Menteri Burma dengan gelar Nainggandaw adipati, alasan Jepang memberikan kemerdekaan ini adalah untuk mengambil simpati masyarakat Burma untuk membantu Jepang dalam Perang Dunia II.

Tidak semua Thankin menduduki jabatan dalam pemerintahan, Thankin Thein Pe dan Thankin Soe yang beraliran komunis tidak masuk dalam pemerintahan, karena menurut mereka komunis tidak akan mengadakan kerjasama dengan kaum fasis. Hingga muncul perang gerilya antara kaum komunis dengan pemerintahan yang dilantik oleh Jepang, setelah kemerdekaan BDA Burma Defense Army berganti nama menjadi BNA (Burma National Army). Penggantian nama ini dimaksudkan untuk keamanan negara Burma dan untuk mempertegas bahwa tentara Burma akan membantu Jepang dalam Perang Dunia II, meskipun demikian Burma tidak lantas berdiri sendiri.

2.7 Perang Kemerdekaan

Setelah kemerdekaan Burma masih dalam kekuasaan Jepang, bahkan setelah BDA berganti menjadi BNA Jepang semakin erat memegang kekuasaan militer, karena pada saat itu militer adalah satu-satunya kekuatan terbesar yang dimiliki oleh Burma. Bahkan setelah kemerdekaan Burma bukan menjadi lebih baik, namun semakin memburuk. Hal ini dikarenakan alat transportasi yang dikuasai oleh Jepang, dan dilarang ekspor dan impor karena menurut Jepang Burma harus bisa mandiri. Selain itu, Jepang juga telah merusak kepercayaan para biksu dengan menggunakan tempat beribadah untuk mejemur pakaian dan tempat pembantaian.

Sehingga muncul asumsi pada masyarakat bahwa Jepang hanya ingin memanfaatkan hasil alam Burma dan memanfaatkan pasukan militer Burma untuk Perang melawan sekutu, hingga muncullah pemberontakan diantara para masyarakat utamanya para Thakin yang awalnya mendukung Jepang. Aung San sebagai ketua BNA sekaligus Thakin dan Ne Win seorang komandan BNA dan beberapa tokoh lainnya merencanakan pemberontakan terhadap Jepang pada April 1944, Aung San yang telah banyak mendapatkan pendidikan dari Jepang mengenai militer dan strategi peperangan meminta bantuan secara diam-diam kepada seluruh rakyat Burma pada saat itu. Thankin yang awalnya terpecah belah karena perbedaan aliran, diminta oleh Aung San untuk bersatu kembali dan bersama-sama menyerang Jepang. Etnir Keren-pun tak luput dari ajakan Aung San, bahkan Aung San akan memberikan kesamaan hak dalam pemerintahan jika Jepang sudah bisa dikalahkan. Maka Aung San kemudian membentuk sebuah organisasi yang bernama Anti Fascis Organization (AFO) pada April 1944, organisasi ini membuat bendera dengan warna merah dan bintang ditengah bendera tersebut. Aung San merasa bahwa pasukannya masih kurang untuk mengusir Jepang dari Burma, maka Aung San mengajak semua lapisan masyarakat untuk ikut berjuang mendapatkan kemerdekaan Burma, selain itu Aung Sun juga mengirimkan utusan untuk pergi ke Simla (India) untuk meminta bantuan kepada Inggris selaku musuh dari Jepang.

Pemerintahan yang sedang berjalan pada saat itu bukannya tidak merespon apa yang terjadi dimasyarakat, Perdana Menteri Dr. Ba Maw merasa kecewa kepada Aung San yang tidak mendiskusikan penyerangan terhadap Jepang kepadanya. Aung San memiliki alasan mengapa dia tidak mendiskusikan terlebih dahulu hal ini kepada Perdana Menteri, karena dia merasa Dr. Ba Maw adalah orang yang pro terhapad Jepang. Meskipun sebenarnya tidak demikian, karena Dr. Ba Maw telah megnadakan perjanjian dengan Jepang untuk tidak lagi mengganggu pemertinahan Burma. Selain itu, Dr. Ba Maw merasa bahwa tindakan yang dilakukan oleh Aung San bukanlah tindakan orang yang mengerti tentang peperangan sehingga Dr. Ba Maw membentuk sebuah oraganisasi untuk mengambil hati rakyat, namun hal itu tidak berhasil karena kemarahan rakyat terhadap Jepang sudah memuncak. Tepat setahun setelah kemerdekaan yang di berikan oleh Jepang, Aung San berpidato mengenai perlunya penumpasan fasis dan perlunya kemerdekaan dan menuju kehidupan yang lebih baik. Kemudian pada tanggal 19 Agustus 1944 Aung San kembali melakukan pertemuan yang dengan perwakilan seluruh lapisan masyarakat untuk kembali membicarakan tentang penyerangan kepada Jepang, dalam pertemuan tersebut AFO berganti nama menjadi AFPFL (Anti-Fascist People Freedom League). Penggantian nama ini menunjukkan bahwa mereka tidak hanya melawan fasis melainkan juga bertujuan untuk memperjuangkan kemerdekaan Burma yang sebenarnya. Inggris mengirimkan utusannya yang bernama Lord Mountbatten untuk memberikan bantuan kepada AFPFL, dalam penyerangan terhadap tentara Jepang Inggris mengirimkan beberapa pasukan untuk meilahat  situasi dan kondisi yang ada. Lalu penyerangan dimulai dari daerah pinggiran Burma lalu mencapai puncak peperangan di Rangoon. Penyerangan tersebut berlangsung selama 18 hari yaitu pada 11-29 April 1945.

Keadaan negara Jepang semakin terhimpit akibat terjadinya Perang Dunia II dan akibat diajtuhkannya bon atom di Hiroshima dan Nagasaki pada tanggal 6 dan 9 Agustus 1945, hingga akhirnya Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu melalui perjanjian yang dilakukan diatas kapar perang milik Amerika Serikat. Setelah Jepang mundur dari kawasan yang dijajah di wilayah Asia Tenggara, Burma mengalami masa dekolonisasi Inggris. Banyak perundingan yang terjadi antara Burma dan Inggris selama masa dekolonisasi, hingga akhirnya Burma mendapatkan kemerdekaannya pada 4 Januari 1948 dengan nama Union Of Burma.


BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
            Myanmar ( Burma ) telah berkembang menjadi sebuah wilayah yang sangat kuat dalam berbagai sector , seperti sector  budaya, social ,ekonomi dan politik pada masa dinasti koumboung. Sehingga hal ini memicu keinginan bangsa barat yaitu Inggris yang pada saat itu berada di India untuk meluaskan imperialismenya ke negeri Burma. Inggris memiliki berbagai macam cara yang licik untuk dapat mempengaruhi rakyat Burma, agar Imperialisme Inggris dapat berjalan lancar di negeri Burma. Sehingga Inggris dapat dapat dengan leluasa mengesplorasi Burma dan membuat pembodohan bagi masyrakat Burma. Hal inilah yang membuat nasionalisme bangsa Burma tumbuh dan memulai perlawanan Perang Inggris ke-1 dan Perang Inggris ke-2 sampai akhirnya tumbuhlah kemerdekaan Burma.






DAFTAR PUSTAKA

·        Hall, D GE, 2003, Sejarah Asia Tenggara, Surabaya :Usaha Nasiona
·        S, Leo Agung, Drs.I Suparman, 1991, Sejarah Asia Tenggara I, Surakarta: Universitas Sebelas Maret
·        Bruhat Jean. 1954. Sedjarah Sovjet Rusia. Jakarta: Pustaka Rakjat.
·        Danial Ali. 2009. Perang Dunia I Dan Perang Dunia II. [artikel online]. http://duniailmu.index.html. [27-02- 2012].












Tidak ada komentar:

Posting Komentar